Privasi dalam Sosial Media

Bercerita tentang shock culture setelah balik (tinggal lama) di negara orang lain, ternyata itu nyata. Bukan berarti soal complaining membanding-bandingkan kondisi negara asal dengan negara orang lain (kalo soal ini sudah sangat dijaga semenjak pertama kali balik ke Indonesia), tapi alhamdulillah ternyata budaya positif yang secara tak sadar menempel di mindset. Mungkin pada dasarnya, kepribadian saya ada miripnya dengan masyarakat Jepang, misalnya soal menaati peraturan dan perihal privasi. Dari dulu saya kesal sekali dengan tayangan televisi yang gemar sekali membeberkan kehidupan orang lain. Mendengarnya sekali saja gerah sekali, apalagi berlama-lama mengikuti acaranya sampai selesai. Ternyata, perihal menjaga privasi seperti ini menjadi masalah besar di sosial media.



Dimulai dari akun Pa*h, sudah hampir tiga tahun saya benar-benar uninstall aplikasi itu karena lama kelamaan isinya tentang update tempat, makanan, dan hal-hal yang pada intinya adalah "show off". Kenapa saya begitu cepat menilai show off? Karena sebenarnya perbedaan sharing dengan show off itu menjadi tipis sekali saat ini berhubung sosial media sudah menjadi bagian hidup sehari-hari. Parameternya adalah: seberapa penting jika saya update status sedang berada di tempat tertentu (misalnya), apalagi cuma perihal tempat makan siang. Kalo memang sedang travelling (real meaning) wajar-wajar saja menurut saya. Lama-kelamaan saya gerah dengan aplikasi Pa*h ini. Lalu, saya bertahan di Instagram. Lagi-lagi ada menu di instagram yang membuat saya melongo: IG Story. Saya juga pernah upload sesuatu di IG Story ini beberapa kali dimana memang ingin memberikan informasi atau sesekali sedang emosional/baper terhadap suatu tempat tertentu. Saya bukan tipikal pemilik akun yang selalu mengunggah tiap detik kehidupannya di IG Story. Saya suka Instagram karena saya suka mengunggah foto yang menurut saya memorial dan bagus (versi saya). Kemudian, FB pun ikut-ikutan memunculkan story line semacam itu. Padahal hal-hal yang kita upload, bisa saja menjadi bahan penelitian institusi tertentu untuk melakukan kejahatan yang lebih sistematis. 

Bagaimana dengan Jepang? Masyarakat di Jepang juga mengenal FB dan Instagram, tapi mereka sangat menjaga privasi. Saya sering melihat teman-teman satu lab saya lumayan sering membuka Facebook dalam sehari, ternyata mereka silent reader. Hanya beberapa orang saja yang gemar update (dari teman-teman Jepang saya sendiri). Sekalipun mereka update sesuatu, pasti sesuatu hal yang mengejutkan sekali, bukan tentang keseharian aktivitas mereka. Pernah suatu ketika menghadiri acara kebudayaan di Kedubes RI yang mengundang masyarakat Jepang, pembawa acaranya sempat bilang (dalam bahasa Jepang): "maaf ya, orang Indonesia biasanya tidak punya privasi yang ketat seperti masyarakat Jepang ..." Terus cuma bisa ketawa miris. Bener sih, tapi jadi fakta yang menyedihkan. 

Baru-baru ini saya sempat melihat iklan di salah stasiun TV yang pada intinya menegur publik untuk lebih bijak dalam menggunakan sosial media, benar-benar menyindir untuk tidak show off. Walaupun saya sangat ngerem soal privasi ini, terkadang saya masih suka khawatir dengan unggahan sendiri. Sebenarnya banyak penyakit mental akibat sosial media ini seperti secara tidak sadar menjadi membanding-bandingkan kehidupan kita dengan orang lain, mungkin nanti jadi cemas, tidak percaya diri, atau mungkin bisa mengiris perasaan orang lain apalagi soal jomblo. Yang udah nikah, gemar banget update lagi bulan madu dimana, foto mesra berdua. Yang udah punya anak, gemar banget upload foto anaknya yang sebenarnya gak di-upload juga ga apa-apa, kalo mau ngasih update tentang si bayi ya kirim aja video pribadi ke keluarga kalo memang alasannya ingin memberikan update ke keluarga atau teman dekat. Soalnya ternyata masalah menjaga perasaan ini nyata. 

Waktu itu ada teman (A) yang gemar mengunggah masakan Indonesia ketika dia sedang makan siang di tempat tertentu di Tokyo. Niatnya adalah untuk memberikan rekomendasi restoran Indonesia di Tokyo. Maklum ya, restoran Indonesia ketika berada di Jepang ya jadi restoran mahal. Berarti kalo sering ke tempat itu, ya punya banyak uang lah untuk ukuran mahasiswa. Datanglah seorang teman saya (B) yang lain yang complain dan menasehati si A untuk menjaga perasaan teman-teman yang sedang belajar di Jepang tapi dengan biaya sendiri, bukan beasiswa. Jleb jleb jleb. Saya sendiri yang cuma membaca alur percakapan saja merasa tersontak. Soal menjaga perasaan ini... so real guys. Be careful. 

Jadi, reminder buat saya juga, menggunakan sosial media itu bukan hanya tentang bijak dalam menjaga privasi tapi juga bijak dalam menjaga perasaan orang lain. Sebenarnya apa yang saya upload juga rentan mengiris perasaan yang ingin kuliah di Jepang. Tapi, purely saya upload karena saya ingin mengunggah foto jepretan saya sendiri (bermodal cellphone) yang mostly adalah travelling. Gak ada indahnya juga kan kalo saya upload foto ketika saya pusing melakukan eksperimen. Ya sama seperti pengguna instagram lainnya: inginnya menggunggah foto-foto indah menurut versi masing-masing. 


Comments