Leaving Islam (?)

Saya sempat terkejut ketika mengetahui Nas (from NasDaily) sudah lama tidak beribadah seperti yang dilakukan muslim pada umumnya. Dia beralasan bahwa setiap orang yang menganut agama, pasti akan menganggap agamanya yang paling benar. Jadi, seakan dia menemukan bahwa agama itu tidak penting, yang penting adalah menjadi orang baik dan berusaha menyelamatkan dunia. Sepertinya dia menjadi agnostik: tidak beragama, tapi percaya keberadaan Tuhan.

Kasus lainnya adalah seorang wanita Arab yang berhasil kabur dari keluarganya dan negaranya setelah ia merasa jengah dengan bagaimana wanita diperlakukan seperti budak di negaranya, seakan tidak punya hak dan kebebasan. Karena ia takut untuk kembali rumahnya dengan alasan takut dibunuh karena telah memalukan keluarga, akhirnya dia mencari suaka ke negara lain dan tinggal menetap. Ia melepas hijabnya sekaligus meninggalkan Islam. Kasus seperti ini sudah banyak ditemukan. Apalagi para wanita yang tinggal di negara konflik.

Secara pribadi, saya gak menyalahkan keputusan mereka. Setiap orang punya hak masing-masing untuk memutuskan sesuatu di hidupnya, meskipun saya punya pendapat pribadi. Apalagi bagi mereka yang mengalami kekerasan amat keji dan tekanan perang. Hal itu menjadi sangat sulit bagi mereka untuk melihat jernih antara what should be and what shouldn't be. Saya pernah membahas ini dengan teman muslim saya dari Perancis dimana sangat sulit berIslam yang sebenar-benarnya di sana. Dia mengutarakan hal yang natural bahwa setiap orang jika diperkenalkan dengan Islam yang salah pasti akan menolak dan meninggalkannya. Tapi, sayangnya mereka tidak bisa membedakan yang salah dan yang benar. Ini gambaran kasarnya, bukan berarti menyalahkan Islam. Saya juga tidak tahu pasti alasan mereka meninggalkan Islam ketimbang mencari kebenaran terlebih dahulu. Mungkin saja ada rasa kekecewaan terhadap muslim yang telah memperlakukannya buruk. 

Islam ya tetap Islam seutuhnya, tapi manusia nya lah yang membuatnya menjadi terlihat salah di sisi tertentu. Dan salahnya, kita gak membuat benteng pertahanan sendiri dengan cara mendalami ilmu Islam. Ada yang mengambil sejumput ajaran baik dari Islam yang sesuai dengan kebutuhannya di dunia ini, namun menolak ajaran Islam lainnya. Taking advantage for their own will.

Saya merasakan hal yang berbeda ketika berIslam di Indonesia dan di Jepang. Secara general, saya merasa berIslam di Indonesia lebih ke arah penekanan ibadah. Banyak hal-hal yang sebenarnya adjustable tapi malah jadi isu penting, padahal ada hal lainnya yang jauh lebih penting yaitu pemantapan akidah yang saya rasa masih jauh dari kata mantap. Bagaimana bisa dibilang mantap jika mindfulness of other people aja masih rendah banget, paham bahwa "peraturan itu diciptakan untuk dilanggar" masih jadi bahan leluconan dan pada akhirnya membuat masyarakat berpikir jangan jadi orang yang serius-serius amat lah, maunya enak sendiri. Anehnya, ketika ada muslimah atau muslim yang berbuat salah, social judgement will be automatically applied then spreaded throughout nation, atau sama dengan membuka aib saudara muslim sendiri. "Si mba itu gak pake kaos kaki tuh.." atau "kerudungnya pendek amat ya" pasti sering didengar. 

Namun, ketika berada di Jepang dan bertemu muslim dari berbagai belahan dunia, saya makin paham bahwa yang dinilai Allah adalah hati, bukan sekedar ibadah. Ibadah hanyalah sarana untuk mendekatkan diri pada-Nya, meraih ridha-Nya. Jadi, jangan pernah merasa aman dengan ibadah sendiri, seperti merasa aman dengan hafalan Al Quran yang semakin bertambah, shalat sunnah yang semakin diperbanyak, sedekah, dsb. Karena ... bisa jadi dari segudang ibadah itu, ada hal kecil terselip yang tidak diridhai-Nya yang merupakan sumber malapetaka. Naudzubilllah.. Jadi pengingat diri sendiri juga terhadap kelemahan diri sendiri. Wallahualam bisshawab. 

Masing ingat kan dengan cerita pelacur di zaman Rasulullah yang masuk surga karena memberikan minum kepada anjing yang sedang kehausan? Namun, hal itu bukan menjadi justifikasi menghalalkan berbuat hal buruk, malah pesan bahwa tidak ada orang yang tahu ketulusan hati seseorang. Atribut religius tidak serta merta mencerminkan hatinya. Setiap orang itu berproses dan memiliki ceritanya masing-masing dengan Allah. Mungkin ada yang terseok-seok dalam berhijrah, tersesat, masih dalam pencarian, namun dia terus maju, meskipun dalam langkah kecil. Allah itu Maha Penyayang. 

Supaya bisa menjaga kemurnian hati itu, mungkin bisa dilakukan dengan cara memaknai ibadah. Misalnya ketika membaca Al Quran, bukan seberapa banyak halaman yang sudah dibaca, tapi apakah kita memahami apa yang sudah dibaca? Saya selalu berprinsip bahwa Al Quran itu adalah manual book of life. Jika kita saja tidak tahu artinya bagaimana bisa menjadikan Al Quran sebagai manual book of life. Rasulullah saja memberikan jeda antar ayat agar ia memahaminya dengan baik. Malahan, rasanya jauh lebih baik ketika menyempurnakan membaca Al Quran beserta artinya. Seakan sedang memperkaya ilmu setidaknya untuk diri sendiri. Pernah waktu itu ketika saya ditanya beberapa teman saya dari negara Islam (bisa berbahasa Arab), "kok bisa sih kamu baca Al Quran tapi gak tahu artinya?! Padahal kamu dari negara dengan populasi Islam terbesar di dunia." Jleb banget meenn... Ya saya jawab aja, "Saya baca juga artinya jadi bisa paham. Orang Indonesia kan berbahasa Indonesia, bukan bahasa Arab." Trus mereka baru paham. Mungkin bagi mereka mudah ya memahami Al Quran, berIslam, dan berbahasa Arab. 

Shalat juga dimaknai sebagai ibadah untuk senantiasa mengingat Allah di sela kesibukan setiap hari. Demikian pula ketika bekerja. Bekerja bisa dimaknai ibadah, misalnya untuk mencari nafkah keluarga. Bagi yang masing single, menurut saya, bekerja bisa dimaknai ibadah karena sedang berlatih untuk bisa memenuhi kebutuhan sendiri dari usaha sendiri, memperkaya diri dengan ilmu ketika bekerja, supaya tidak menggantungkan diri kepada orang tua di masa mendatang. 

Berkaitan dengan topik ini, saya menemukan khutbah jumat dari Ustadz Nauman Ali Khan yang sangat menyentil tentang berIslam. 



Comments